Monday, July 21, 2008

The Reason To Die

Kalo si Landak lebih berkonsentrasi pada apa yang dia inginkan untuk dilakukan oleh orang -orang yang ia tinggalkan, dan Ibu Gajah lebih konsen pada proses pemakamannya, gue lebih tertarik pada alasan kematian.

Huahahaha... kesannya kita bertiga obsessed banget sama kematian ya?

Nggak kok, kita nggak semaniak itu. Ini cuman pemikiran-pemikiran yang memang sudah selayaknya sesekali terlintas di kepala seorang manusia yang suatu saat sudah pasti akan mati.

Menurut gue, gue udah nggak bisa mengontrol apapun yang terjadi setelah gue mati. Mau temen-temen gue nangis-nangis kek, mau mayat gue dikubur atau dibakar, gue udah nggak bisa ngapa-ngapain lagi, jadi gue berusaha untuk nggak terlalu mikirin apa yang gue inginkan setelah gue mati.

Oleh karena itu, gue lebih penasaran dengan alasan kematian gue nanti.

Gue bukan membicarakan tentang 'alasan' dalam arti medis ya. Jadi gue bukan ngomongin ntar gue mati karena sakit apa, atau karena kecelakaan, atau yang seperti itu.

Yang gue bicarakan adalah 'the reason to die'.

Kalo ternyata ntar gue menjalani kehidupan yang tenang, kehidupan mana akan berakhir karena usia tua atau penyakit, paling nggak gue tahu bahwa selama ini gue hidup dengan sangat memuaskan karena gue bisa menjaga hidup yang dianugerahkan Dia kepada gue sampai tiba waktunya gue mati secara alami.

Tapi dalam hidup, kita nggak bisa selalu tenang kan? Pasti ada aja turbulensi hidup yang terjadi. Namanya juga hidup gitu loh, hahaha...

Kira-kira bisa nggak ya gue menyerahkan kehidupan dan kematian gue pada suatu cita-cita atau tujuan atau bahkan untuk seseorang?

Hhh...

Tentara punya advantage dalam hal ini. Mereka menyerahkan jiwa raga dan seluruh hidup untuk tugas, bangsa, dan negara (ya ampun, nasionalis banget ya?)

Tapi orang-orang sipil seperti kita bagaimana? Dalam hal ini kita nggak punya kemewahan seperti yang dimiliki oleh tentara. Kita harus pontang panting mencari alasan untuk hidup dan untuk mati.

Terkadang gue mikir bahwa kita bukannya takut kepada kematian itu sendiri. Tetapi kita takut bahwa kematian kita akan sia-sia, atau kematian kita terjadi hanya untuk sesuatu yang tidak penting.

Kebayang nggak sih kematian-kematian yang jadi headline korang-koran kriminal seperti Lampu Merah atau Pos Kota gitu? "Seorang pria mati karena rebutan celana dalam wanita yang hendak dicurinya dengan pencuri celana dalam lainnya"

Wew... nggak banget deh mati dengan sebab seperti itu.

Kasian banget anak keturunannya orang itu.

Tetangga: "Tong, bokap lo matinya karena apa?"
Otong: "Gara-gara rebutan celana dalem cewek yang mau dia curi."

Kayanya tuh tetangga bakal langsung merasa terharu sekaligus jijik.

Kadang gue bertanya-tanya sendiri, apakah gue akan pernah menemukan sesuatu yang begitu berharganya sehingga gue akan mau menukarnya dengan kehidupan gue sendiri.

Sampai saat ini sih gue belum menemukan itu. Mungkin ntar kalo gue jadi notaris, gue harus mempertaruhkan hidup untuk melindungi protokol milik gue, tapi itu kan kewajiban gue sebagai notaris, bukan keinginan gue sebagai manusia.

Apakah gue akan bisa menemukan (lagi) seseorang yang sebegitu berharganya buat gue, sehingga gue bersedia, tanpa harus berpikir panjang, untuk menyerahkan hidup gue untuk orang itu.

Yah, gue tipikal orang aquarius sejati kok. Jadi gue nggak ngoyo tentang hal itu. Seperti gue bilang di awal, kalo ntar akhirnya gue mati secara alamiah, itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Tapi memang akan lebih menyenangkan kalau gue mati dengan kesadaran bahwa gue mati untuk sesuatu yang berharga untuk gue.

Hhh... sepertinya gue udah kebanyakan baca Full Metal Alchemist deh. Makanya pikiran gue jadi seperti ini. Hahaha...

Tapi ceritanya bagus sih, jadi mau gimana lagi dong? Hiks...

Ngelanjutin baca lagi ah. Hehehe...

No comments: