Friday, July 04, 2008

Gila...

Kadang gue mikir, apa memang nasib kami-kami ini yang ada di Notariat memang lebih baik daripada anak-anak STPDN, IPDN, dan STIP ya?

Well, mereka memang mengalami penganiayaan fisik dan intimidasi, tapi kita yang ada di notariat bisa dibilang mengalami penganiayaan mental sampe udah gila (bukan hampir lagi), apa bukan lebih parah?

Salah satu jenis kegilaan yang paling sering muncul di notariat adalah parno. Bener-bener parno a.k.a paranoid.

Mau gimana nggak parno kalo setiap langkah kita diwajibkan sempurna? Ada kesalahan sedikit aja, resikonya harus ngulang satu semester, dan kembali menghadapi dosen-dosen yang ajaib-ajaib.

Karena setiap hari udah kebiasaan di bikin waspada, jadilah kita semua jadi gampang parno. Yang lebih bikin gila lagi, sebagai notaris kita semua dididik untuk harus selalu senyum semanis-manisnya. Mau muka kita aslinya lebih nyeremin daripada korban kecelakaan yang mukanya habis kesamber kereta api, senyum manis harus dilatih. Kalo nggak percaya, coba cari notaris yang mukanya suram, pasti nggak mungkin ketemu karena latihannya memang begitu.

Senyum bagi notaris sama seperti pedang bagi para samurai atau pistol bagi para koboi. Harus siap digunakan kapanpun dimanapun.

Kebayang nggak, di dalam hati ketar ketir tapi muka tetep senyum. Apapun emosi yang ada di hati, mau lagi BeTe, marah, sedih, depresi, atau bahkan edan, tetep senyuman harus muncul. Gimana nggak gila kalo latihannya begitu?

Ke-parno-an yang paling baru adalah munculnya desas-desus yang bilang kalo di antara anak notariat sudah ada yang selesai sidang tesis. Lha wong pendaftaran sidang n pembagian tugas dosen yang menyidang aja belum selesai prosesnya, kok bisa-bisanya dibilang ada yang sudah selesai sidang. Kurang gila gimana lagi coba sampe ada gosip seperti itu?

Tapi kalo yang gila cuman yang nyebar gosip sih masih oke lah. Yang gila adalah, anak-anak notariat saking parnonya, bisa lho mereka kemakan sama gosip-yang-nggak-mungkin-pernah-terjadi gitu. Salah satunya ya gue ini yang percaya sama gosip itu.

Sampe-sampe akhirnya gue sendiri ikut menebarkan gosip dodol brodol itu. Tapi untungnya orang pertama yang gue kasih tahu gosip itu adalah si Wira, yang tesisnya agak lancar jadi otaknya juga nggak begitu edan kalo dibandingin kita-kita yang tesisnya nyendat-nyendat gak karuan jadi otaknya ikut-ikutan nyendat.

Gue: “Eh jeung, udah denger gosip baru belum?” (maklum, orang gila, jadi ngegosip juga dengan gaya orang gila, niru ibu-ibu arisan yang khawatir karena denger harga beras mau naik lagi)
Wira: “Belum jeung, memangnya ada gossip apa jeung?” (sempet ikutan gila untuk menunjukkan solidaritas dan menanggapi dengan gaya ibu-ibu arisan)
Gue: “Masa ya Jeung, ik denger dari jeung Nana kalo udah ada temen kita yang udah selesai sidang lho jeung. Itu lho, si mas J katanya sudah selesai sidang.”
Wira: “Lho, mas J itu kan kemaren nggak lolos dari hukum waris, kok bisa sidang jeung?” (nadanya mulai berubah)
Gue: “Gue juga nggak tahu. Siapa tahu aja memang bisa. Kan si mas J itu tesisnya memang sudah selesai dari entah kapan, jadi siapa tau dia bisa ikut sidang.”
Wira: “Ah masa? Denger dari mana si jeung Nana?”
Gue: “Dari si ibu B (salah satu temen notariat) itu lho jeung.”
Wira: (tiba-tiba nada bicaranya berubah balik ke gaya bapak-bapak) “Oh, dari sesama anak notariat?”
Gue: (ikutan balik normal lagi) “Iye. Emangnya kenapa?”
Wira: “Aduh, lo berdua sama Nana tuh gimana sih? Kan lo udah tahu kalo kita semua udah pada gila gara-gara tesis, jangan percaya sama berita yang bukan dateng dari sekretariat lah.”
Gue: “Tapi…”
Wira: “Lo kan tahu sendiri kalo pendaftaran sidangnya aja belum ditutup, gimana mau sidang kalo yang mau ikut sidang aja belum jelas siapa aja makhluknya? Udah gitu si J yang masih kepentok sama waris dibilang sudah sidang segala. Gosip nggak bener lah itu”
Gue: “Tapi…”
Wira: “Udah lah Dit, jangan dipikirin lagi. Lo juga kok nggak kapok-kapok ngedengerin gosip-gosip orang stres gitu. Emang lo lupa kalo temen-temen kita kalo stress jadi gila semua?”
Gue: “Tapi…”
Wira: “Masa lo lupa sama si JO yang suka bohong-bohong nggak jelas, G yang diem aja udah kaya orang katatonik, si E yang sombongnya nggak ketulungan, si R yang jadi sakit-sakitan, si ini yang begitu, si itu yang begini, bla bla bla bla bla…”
Gue: “Tapi…”
Wira: “Bla bla bla bla bla bla bla bla bla bla bla…”

Dan jadilah saat itu gue baru inget kalo Wira lagi stress, dia sukanya ngomel-ngomel panjang lebar n nggak bisa di stop. Hiks…

Harap dimaklumi…

Jadi inget waktu pertama kali dikasih tugas yang khas notariat, yaitu harus menghapal mati akta dan harus siap menulis ulang akta itu. Rasanya kepala sudah mau mledug. Akta yang jumlahnya udah nyaingin jumlah di langit, dan masing-masing akta panjangnya paling sedikit 8 halaman itu harus dihapal mati?

Gue rasanya udah jadi biksu junior di biara Shaolin yang dihukum disuruh menulis ulang kitab suci. Paling nggak kalo biksu ngelakuin itu sebagai hukuman, lah ini kita disuruh melakukan itu sebagai bagian kehidupan sehari-hari.

Saking kebanyakan nulis, tulisan tangan gue yang emang udah mirip kaligrafi semakin hari bener-bener berubah jadi kaligrafi beneran.

Udah gitu kecepatan menulis juga harus dilatih, karena kalau ujian pasti kita harus menulis akta yang panjangnya nggak tahu diri hanya dalam waktu 3 jam. Hhh… nasib…

Oh iya… kita NGGAK BOLEH SALAH PADA SAAT MENULIS AKTA!!!

Kalo harus panjang dan cepet tapi masih boleh salah-salah tulis atau eja sih masih lumayan. Lha ini sama sekali nggak boleh salah. Kalo sampe ada yang salah, perbaikan kesalahan itu harus dengan tehnik khusus notaris yang disebut renvoi. Dan saudara-saudara sekalian, renvoi itu amat sangat ribet bikinnya, apalagi kalo kesalahannya banyak. Hekh…

Tapi ada untungnya sih belajar bikin akta seperti itu. Sekarang kita kalo disuruh bikin draft kontrak, pasti bisa jadi dalam sekejap, bahkan bisa dibilang udah hampir nggak pake mikir lagi. Mau gimana? Tuh akta-akta laknat udah pada nempel di dalam otak, disuruh bikin kontrak ya rasanya udah cuman asal lewat aja.

Harap dicatat bahwa gue mengatakan kalimat di atas tidak dengan nada sombong, tapi pakai nada orang depresi karena gue nyadar kalo keahlian seperti itu menunjukkan bahwa gue udah bukan manusia normal lagi. Hiks…

Mungkin orang lain yang ngeliat kita kerja pasti bilang “Kan cuman ngapal doang, apa susahnya sih?”

Orang yang bilang begitu di depan salah satu temen gue telah menghilang dan sampai sekarang tidak diketahui rimbanya. Gue doakan orang itu mati dengan cepat tanpa rasa tersiksa, karena anak notariat paling gondok kalo dibilang seperti itu.

Yah… mungkin orang lain memang melihat kegiatan kita sebagai tidak lebih dari menghapal, tapi seseorang harus bener-bener kuliah di notariat dulu baru bisa tahu seperti apakah hal-hal yang harus kita hadapi.

Gue kasih hint begini deh. Senior-senior kita aja udah nggak napsu ngerjain junior-juniornya karena mereka sudah pernah melewati apa yang harus kita lewati, jadi mereka sudah tahu kalo kita sudah cukup menderita, buat apa di tambah penderitaan lagi? Kebayang kan bagaimana menderitanya para junior kalo sampe-sampe para senior aja udah nggak tega ngerjain juniornya?

Sedih ya…?

Nasib jadi mahasiswa notariat…

Btw, ada satu ketentuan di peraturan notaris yang sampe sekarang masih bikin gue ketawa sendiri. NOTARIS KALO MAU MATI HARUS LAPOR KEPADA MAJELIS PENGAWAS NOTARIS DAN SEBELUM MATI HARUS MENENTUKAN NOTARIS PENGGANTI. Kalo nggak percaya, baca aja undang-undang jabatan notaris, hihihihi…

Huahahahaha… ada juga orang mati dicatetin ke catatan sipil buat minta sertipikat kematian, lha ini notaris mau mati aja kok wajib lapor seperti mau minta ijin kawin aja. Udah gitu harus menentukan pengganti segala, udah seperti raja-raja jaman dulu.

Notaris tua yang hampir mati di atas ranjangnya (NTYHMDAR): Kuserahkan… uhuk… protokol notarisku… ohok… kepada dirimu… ehwek…
Notaris muda yang baru aja lulus ujian notaris dan baru kemarin diambil sumpahnya (NMYBALUNDBKDS): Saya terima… hik… protokol notaris ini… ihik… dan… hiks… akan saya gabungkan… ihigs…dengan protokol saya… huweee…
NTYHMDAR: Saya… ehek… minta tolong… ehk… supaya kematian saya… ohk… dilaporkan kepada… ahk… MPD…
NMYBALUNDBKDS: Akan saya… hiks… laporkan… hiks…
NTYHMDAR: Tolong supaya… eheg… klien yang… ohok… mau jual beli… ehegh… saham… hegh… diberi penjelasan… hegh… bahwa sahamnya sudah naik nilainya… uhuk… kemarin…
NMYBALUNDBKDS: Jangan… higs… khawatir… hiks… akan saya jelaskan… srooot… (eugh…)
NTYHMDAR: Ehek… uhuk… ohok… bweeekk… (akhirnya mati)
NMYBALUNDBKDS: (sambil berdiri perlahan-lahan dari posisi berlutut dan dengan suara berwibawa) pada hari ini Jum’at tanggal 4-7-2008 (empat juli dua ribu delapan), berhadapan dengan saya, R Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan, Notaris di Jakarta, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang akan saya sebutkan pada akhir acara kematian ini, seorang notaris tua yang telah mati dengan lidah melet keluar, dan yang telah menyerahkan protokolnya kepada saya untuk saya gabungkan dengan protokol saya.
Setelah itu, langit terbuka dan seberkas cahaya menyeruak dari balik awan menimpa NMYBALUNDBKDS. Terdengar paduan suara malaikat-malaikat surgawi, dan tampak mahkota bercahaya yang perlahan-lahan melayang turun sampai akhirnya mendarat di atas kepala NMYBALUNDBKDS. (hihihihihihi… gilanya gue kumat)

Tapi yah paling nggak seperti itulah proses kematian seorang notaris. Capek nggak sih? Gue baru ngebayanginnya aja udah capek. Paling nggak itu artinya semua notaris harus sudah ikhlas untuk menerima kematian mereka masing-masing pada saatnya sendiri-sendiri ya? Kan mereka udah nggak ada waktu untuk menyangkal kematian. Gimana mau ada waktu? Kan udah ribet lapor n cari penerus. Heheheh…

Pertanyaan gue cuman satu, kalo ada notaris yang kena kecelakaan yang parah gitu, berarti dia nggak boleh langsung mati ya? Hmm… I shall ponder over it.

1 comment:

mine said...

SINTING!!!

Hahahaha...

STRESS!!!

Huhuhuhu...