Friday, August 23, 2013

Ujian PPAT

Sudah lama banget gue gak bikin entry di blog ini. Well, alasan utamanya karena sambungan internet gue yang amat sangat minimalis jadi bikin gue males on-line, dan alasan kedua adalah gue juga bingung mau bikin entry tentang apa. Hehehe…

Sebenernya ada sih beberapa hal yang pengen gue posting di sini, tapi kadang hal-hal itu sebegitu panjang dan lebar sampai-sampai gue sendiri males buat menyusunnya jadi satu postingan, sementara kalau dipisah-pisah malah gue jadi males buat ngelanjutinnya nanti.

Intinya sih satu: gue orangnya males. Wkwkwk…

Well, mending gue ngebahas hal ‘besar’ yang gue jalani belakangan ini aja kali ya? Sebenernya ini bukan cerita baru juga sih, karena gue ngejalanin ini udah hampir 5 bulan yang lalu. Alasan utama gue nggak mau membahas tentang hal ini adalah karena kemarin-kemarin hasilnya belum jelas. Tapi akhirnya beberapa minggu lalu hasilnya sudah diumumkan, jadi gue sudah lebih berani untuk menceritakan hal ini.

So, tema cerita gue adalah: UJIAN PPAT

Jeng jeng jeng… *musik dramatis*

Akhirnya setelah menanti dan menunggu dalam kegalauan (hallah!) gue bisa juga ikutan tuh ujian PPAT. Terakhir kali ujian ini diadakan pas tahun 2009, dan saat itu usia gue baru 28 tahun. Karena usia yang masih belum 30 tahun itulah makanya gue nggak bisa ikut ujian PPAT waktu itu. Gondok sih, karena udah gemes pengen cepetan ujian (biar gak kepikiran lagi) tapi ternyata belum boleh ikutan.

Karena gak ada pilihan lain, ya akhirnya gue cuman bisa menunggu sambil konsentrasi saja dengan berkerja sebagai Notaris. Hadeuh… jadi notaris tanpa jadi PPAT rasanya beneran pincang, tapi mau bagaimana lagi? Dijalani saja lah. Cuman kadang-kadang gak enak sama calon klien yang dateng ke kantor membawa berkas-berkas tanah untuk dijual-beli, dihibahkan, di-inbreng, atau diapakan saja. Karena gue belum PPAT setiap ada orang dateng begitu mau gak mau ya gue harus merujuk mereka ke teman Notaris lain yang sudah punya PPAT.

Gue bukan masalahin rejeki yang lepas atau gimana (gue penganut “kalo rejeki udah jodoh ya gak bakal kemana-mana” hehehe…) tapi gue kasihan sama calon kliennya. Coba deh taruh diri kita di posisi mereka. Mereka udah pilih-pilih notaris, mikir-mikir kapan bisa mampir ke notaris itu, siap-siapin berkas yang mungkin diperluin, dan bahkan mungkin sudah janjian dengan keluarga atau orang lain yang mau dibawa bareng ke kantor notaris itu. Eh, begitu masuk ke kantor notarisnya, ternyata si notaris belum PPAT jadi gak bisa bantu selain merujuk ke notaris lainnya.

Kesannya baru mulai aja kok udah dapet kekecewaan. Keadaan seperti itu kan malah bisa bikin ilfil, karena sebuah proses kok sudah dimulai dengan sesuatu yang diluar perhitungan.

Oh well…

Tapi nggak apa-apa. Moga-moga sebentar lagi gue nggak usah lagi memberi jawaban “Maaf Pak/Bu, saya belum PPAT jadi belum bisa membantu Bapak/Ibu. Mungkin Bapak/Ibu mau saya rujukkan saja ke rekanan saya yang sudah PPAT?”

Nah, balik ke tema utama, yaitu tentang Ujian PPAT.

Gue daftar ujian PPAT sudah dari November tahun kemarin, dan ujiannya sendiri diadakan bulan April tahun ini.

Langkah pertama setelah tahu kalau akan diadakan ujian PPAT adalah gue langsung kelimpungan buat cari temen bareng karena ujiannya diadakan di Sleman, Jogjakarta. Males banget kalau sampai harus menjelajahi Jogja sendirian. Belum lagi kalau sampai harus kesasar-sasar sendirian. Whadaw… Selain itu kalau ada temen bareng kan lumayan bisa diajak belajar bareng biar gak garing, dan kalau ada sesuatu yang gue gak tahu kan jadinya bisa tanya-tanya dia. Hehehe…

Tapi gue juga males kalau harus join sama temen-temen yang kelompoknya besar, secara gue udah pengalaman kalau kelompoknya terlalu besar begitu yang ada bukannya bisa belajar, yang ada malah ngerumpi dan ngobrol ngalor-ngidul. Haduh… bisa hancur mina dah hasil ujian gue kalau malah ngerumpi dan bukannya belajar. Masa nanti pas ujian gue jawab pertanyaannya malah dengan hasil rumpian gue sama temen-temen? Yang ada pegawai Badan Pertanahan yang koreksi kertas ujian gue ngira kalau gue udah edan. Wkwkwk…

Untungnya temen magang gue dulu, si Ochie, malah duluan ngajakin gue bareng untuk ujian. Dan dia juga gak mau join sama teman-teman yang kelompoknya besar dengan alasan yang sama seperti alasan gue. Ya bagus lah, akhirnya kita putusin kalau kelompok kita ini bakal hanya berdua, gue dan dia, saja. Paling kalau nanti-nanti nambah satu orang boleh lah.

Masalahnya adalah… Ochie itu cewek. Gue sih seneng-seneng aja punya temen bareng, tapi temen bareng kan lebih enak kalau bisa nyewa kamar hotel berbarengan. Hitung-hitung menghemat biaya hotel kan. Lha ini gue cowok, barengnya sama anak cewek, masa mau sekamar? Apalagi si Ochie udah menikah juga, jadi dia itu istri orang, saudara-saudara. Apa lah nanti kata dunia? Yuk mari skandal. Hehehe…

Gue sih udah pasrah aja dah. Yang penting kan punya temen barengan yang bisa diajak belajar. Apalagi gue dan Ochie dulu magang bareng, jadi kurang lebih kita udah ngerti sifat n pembawaan masing-masing.

Ternyata, saudara-saudara, dia nelpon gue n bilang kalau nanti di Jogja lebih baik kita sekamar aja demi penghematan biaya. Gue udah bingung mau jawabnya gimana. Kalau gue pribadi sih orangnya cuek, dia mau sekamar sama gue ya nggak apa-apa. Tapi suami dia gimana? Kalau suaminya tahu belakangan bahwa istrinya sekamar sama gue apa nggak keluar tanduknya tuh suami?

Eh gak tahunya tiba-tiba suaminya gantian ngomong ke gue, minta supaya gue sekamar sama istrinya, itung-itung sekalian ngejagain istrinya.

Gue gak tahu harus bereaksi gimana lagi selain: GUBRAK!

Wakakaka…

Oh well, kalau suaminya saja udah percaya sama gue, ya sudah lah, mau gimana lagi? Paling kalau ditanya sama orang lain ya kita ngaku sepupuan aja lah ya. Xixixi… Sepupu ketemu tua.

Enaknya buat gue, si Ochie ini penganut faham "gerak cepat". Dia langsung nyari-nyari hotel yang lumayan murah n gak terlalu jauh dari tempat penyelenggaraan ujian. Jadinya gue cuman tinggal oke-oke saja sama hotel hasil temuan dia. Hehehe…

Setelah menunggu dan mempersiapkan berbagai bahan belajar yang punya hubungan dengan ilmu pertanahan (yang banyaknya naudzubilah amit-amit jabang bayi lanang wedok ketok kayu berkali-kali), akhirnya hari H ujian pun tiba.

Jeng jeng jeng… *musik dramatis lagi*

Ujiannya terbagi jadi 2 hari. Ujian hari pertama sih bahannya lumayan gak terlalu menyiksa jiwa raga, karena yang diuji hanya teori-teori tentang hukum pertanahan, pendaftaran tanah, kantor pertanahan, dan teori-teori lainnya.

Yang bikin bete adalah fakta bahwa gue ujian di ruangan yang biasa dipakai jadi kantin di Sekolah Tinggi Pertanahan (sekolah itu memang biasa dipakai jadi tempat ujian PPAT). Ruangannya sih besar, tapi untuk memaksimalkan kapasitas ruangan itu, semua meja makan disingkirkan dan yang tersedia hanya kursi yang diatur berderet-deret. Ada kali tuh seribu orang duduk berjejer-jejer di situ. Cuman saja, ya begitu, TIDAK ADA MEJA! Hiks! Terpaksalah gue ujian berjam-jam dibantu dengan papan bantu menulis. Pegel saudara-saudara, harus ujian sambil megangin papan begitu. Tangan kiri megangin papan, sementara tangan kanan gak berhenti menulis.

Sebenernya tempat ujiannya tidak hanya di tempat kantin itu saja sih. Gedung-gedung lain di Sekolah Tinggi Pertanahan itu yang biasa dipakai untuk perkuliahan semuanya dipakai untuk ujian, tapi karena yang ikut ujian banyak banget akhirnya ya terpaksa kantin juga dipakai untuk ujian. Kalau gak salah inget sih yang ikut ujian PPAT tahun 2013 ini ada 2750 orang. Hweh…

Pas ujian hari pertama selesai, badan udah pegel semua karena kan duduk berjam-jam, nunduk menulis sambil memegangi papan. Tapi kita belum bisa istirahat karena besoknya masih ada ujian lagi.

Ujian hari kedua lebih parah lagi, karena salah satu bahan ujiannya adalah ujian praktek pembuatan akta.

Hadeuh… Neraka jahanam bener dah tuh…

Kenapa gue bilang neraka jahanam? Karena begini:

Buat orang yang tidak/belum mengerti tentang akta PPAT, perlu diketahui adalah sampai dengan tahun ini para PPAT membuat akta dengan cara menggunakan blanko.

Apakah blanko itu? Blanko itu adalah akta kosongan yang mirip seperti formulir, jadi PPAT yang ingin membuat akta hanya tinggal mengisi bagian-bagian blanko yang masih kosong dan sudah disediakan itu.

Nah, ternyata tahun ini Badan Pertanahan membuat kebijakan baru bahwa PPAT tidak lagi membuat akta dengan menggunakan blanko, dan sebagai gantinya para PPAT membuat akta dengan mengetik sendiri aktanya dari awal sampai akhir (sama seperti akta notaris).

Yang bikin gue kelimpungan adalah, contoh-contoh soal ujian pembuatan akta dari tahun-tahun sebelumnya selalu menggunakan blanko, jadi biasanya yang dibuat rumit dalam soalnya adalah tentang para kliennya, jadi orang-orang yang diuji bakal dibuat mumet tentang bagaimana menuliskan identitas para klien dengan jelas, tapi karena menggunakan blanko, mereka tidak perlu mumet soal isi (pasal-pasal) aktanya.

Ternyata tahun ini ujiannya menggunakan style yang berbeda, yaitu ujian pembuatan akta tidak lagi menggunakan blanko.

Pas gue menerima soal ujiannya, dan gue menyadari bahwa di soal-soal ujian itu tidak disediakan blanko, gue langsung panik berat.

Gimana gak panik kalau selama ini gue hanya mempelajari tentang bagaimana mengisi blanko akta, sementara ternyata ujiannya menyuruh gue membuat akta itu dari awal sampai akhir termasuk pasal-pasalnya.

Bener aja, yang kaget gak cuman gue. Semua peserta ujian pada cuman bisa terkesima karena mereka juga baru sadar kalau mereka harus menulis ulang akta-akta PPAT yang biasanya sudah saklek pakemnnya karena sudah berupa blanko.

Tapi mau bagaimana lagi? Kita sudah duduk di ruang ujian, jadi ya kita gak punya pilihan lain selain terjun bebas dan mencoba membuat akta-akta yang diminta sebaik mungkin mengandalkan memori kita yang terbatas ini. Hiks…

Begitu ujian hari kedua itu selesai, badan rasanya udah gak karuan. Pegel, capek, kaku, pusing, laper, bete, semua diublek jadi satu.

Di hari kedua itu gue dan Ochie pisah jalan. Dia sudah janjian sama temen-temen dia yang lain yang kebetulan ada di Jogja buat jalan-jalan. Dia nawarin gue buat gabung sih, tapi gue nolak karena gue beneran udah capek banget rasanya. Jadilah gue melewati malam terakhir gue di Jogja dalam rangka ujian PPAT itu dalam kesendirian yang syahdu (pret… dung… chuih…) whakhakha…

Yang bikin gue bete adalah, di malam terakhir itu saking capeknya, kaki gue akhirnya kram dengan suksesnya. Hiks… Karena cuman tinggal sendirian di kamar hotel ya gue cuman bisa meringis sambil melafalkan segala sumpah serapah yang gue tahu.

Well, itu adalah cerita ringkasan petualangan gue ikut ujian PPAT di Jogjakarta. Orang lain mah ke Jogja buat wisata, gue ke sana kok kayanya malah buat menjalani penyiksaan. Hieh!

Tapi nggak apa-apa. Kalau nggak seperti itu kan malah nggak ada kenangannya. Hehehe…

Sukur alhamdulilah, bulan Juli kemarin hasil ujiannya sudah keluar dan gue ternyata lulus buat jadi PPAT dengan wilayah kerja Kabupaten Gresik, sesuai dengan wilayah kedudukan gue sebagai Notaris.

Sujud sukur dah gue. Bener-bener speechless, karena gue menjalani tuh ujian dengan segala kekurangan gue sebagai Burung Hantu Oversize begini, tapi ya ternyata bisa lulus juga. Kayanya kalau gue nggak lulus bisa nangis bombay dah gue, secara bener-bener tersiksa kalau harus menjalani ujian yang bikin capek seperti itu.

Gue bener-bener bersukur, karena ujian PPAT terkenal bukan ujian yang sifatnya formalitas doang. Dengan kata lain, di ujian PPAT ini kalau nilainya kurang ya gak bakal lulus. Tahun ini saja yang tidak lulus cukup banyak (soal berapa yang gak lulus, gue gak ngomong dah, pokoknya banyak).

Oh well, sekarang tinggal mikirin rencana kapan ke Jakarta buat menyetor berkas-berkas permohonan pengangkatan sebagai PPAT. Hehehe…

Oh, satu hal yang gue lupa cerita. Buat ujian PPAT itu, semua peserta diwajibkan pakai kemeja putih dan celana/rok hitam. Sebenernya nggak apa-apa sih, cuman saja mau ujian jadi PPAT kok rasanya malah seperti jadi Sales Promotion Girl/Boy yang masih dalam masa percobaan gara-gara pakai baju hitam-putih begitu. Hahaha…

So, begitulah cerita gue tentang ujian PPAT yang gue ikuti kemarin itu. Semoga yang baca bisa dapet bayangan tentang apa saja yang harus dihadapi kalau ingin menjalani ujian PPAT.

Monday, December 31, 2012

Hestia's Goodbye

This is a Percy Jackson and The Olympians fanfiction short story that I wrote and posted at fanfiction.net under my pseudonym, Christopher McNair. You can check out the original post at http://www.fanfiction.net/s/8664940/1/Hestia-s-Goodbye.
The reason I posted the story here, is because I like to tinker with they design of the post, and also put a picture on in, something that we can't do in Fanfiction.net
The disclaimer is as usual, none of the Percy Jackson and The Olympians characters are mine, because they are all belong to Rick Riordan, while the Greek gods belong to Greek people and culture.
Hope, you'll enjoy reading it. (^_^)

Hestia's Goodbye


Hestia was alone, poking and rearranging the firewood on the hearth at the middle of the throne room in Olympus.
She'd been doing this duty for aeons, and somehow she never got tired of doing it.
With her wooden poker still in her hand, she turned her head to look at the twelfth throne in the room – Dyonisus's throne – that used to be her throne.
She smiled a little, remembering the last time she stood up from that throne to let Dyonisus took it.
She loved her nephew, all of her nephews and nieces, whether they're titans, gods, demigods, or even monsters. In fact she loved each and every single one member of her family, including her father – Cronus – who swallowed her and her siblings when they were still babies.
All of her siblings hated their father for doing something like that, but Hestia couldn't bring herself to really hate Cronus. Somehow she was able to see things from his perspective, and she understood his fears.
Who wouldn't be scared, knowing that someday your own son would overthrow and even kill you?
Cronus's action was an overkill, Hestia knew that, but she also knew that it's understandable.
She turn her attention back to her duty – taking care of the hearth.
Hestia always enjoyed her existence. Her fully peaceful existence.
Again, she smiled a little when she remembered how some members of the 12 Olympians looked at her with pity, as if her existence were too pitiful from their point of view. Her brothers – Poseidon, and Zeus – and Ares are the most obvious.
Athena, not so much. She looked at Hestia with an air of questioning. Such is Athena's nature, always questioning to find out the reason and logic of all things, and she seemed unable to comprehend Hestia's decisions in her existence.
Aphrodite, Apollo, Artemis, Hephaestus, and Dyonisus are too focused on themselves, so Hestia rarely got any attention from them. Except maybe Aphrodite, who – literally – is Hestia's aunt. Sometimes she spend a few minutes talking to Hestia, keeping Hestia company while she's doing her duty taking care of the hearth.
Hermes – Hestia chuckled a little – are too busy to pay any attention to her. The other gods are working him too much.
Only her sisters – Hera and Demeter – could pretty much understood Hestia.
Especially Hera.
Hera's the goddess of family, while Hestia's the goddess of home and hearth, so their role in human lives are usually intertwined. But, personality speaking, Hera is the exact opposite of Hestia.
If Hestia is the embodiment of acceptance and tolerance, then Hera's the embodiment of unshakable principle and rebellious female spirit.
But, if there's one thing that Hestia and Hera will always agree on, is that they will sacrifice anything and everything for their family. In fact, the only reason Hera didn't step down instead of Hestia – when there was the question who should step down to give place for Dyonisus – it was because they both knew that Hera is the one who should stay in power to keep their family intact, because Hera is the one able to don the mask of "the stern mother" while Hestia only able to play the role of "the loving – though a bit melancholy – aunt".
But Hestia's smile faded a little when she remembered the decision that she'd taken today.
Hestia saw a warm light appeared behind her and a woman's voice said, "How are you, sister?"
Hestia stopped poking at the hearth, stood up and turned, "Hail, Hera, Queen of The Gods."
Hera smiled at that. Hestia always hailed her with sincerity, while others – including her own children – often used that hailing with undiluted sarcasm.
"How are you, Hera?" asked Hestia. "I hope you don't work yourself too hard."
"Thank you, sis." Hera answered awkwardly. "I tried not to overwork myself, but you know how families goes these days."
Usually nobody ever asked how's Hera doing. Part of it is because she is the 'mother' figure so she's the one who's supposed to ask that question to everyone, and the other part was because most beings just doesn't like her so much that they wanted to know how Hera was doing. This, of course, does not apply to Hestia – Hera's oldest sister.
"Yes." Hestia replied. "It's also true for homes."
They're both quiet for a moment before Hera asked "How about if we sit down and talk for a bit, like the old days."
Hestia smiled and nodded. Spending their younger years in their father's stomach was not an endearing experience, but somehow it gave them time to spend together as siblings. Something that they can't really have after they took over the world.
The two sisters chatted a bit for a few minutes, sharing stories – and gossip – about the other gods. They didn't need coffee, or tea, or cakes, or cookies to share. Just the fact that they're both there, spending time talking about trivial things and enjoying each other's company is more than enough for them. They didn't even need chairs, because they're sitting on the floor right next to the hearth, just like when they sat on their father's stomach's floor when they were young, playing together to pass the time.
Finally, Hera asked, "It's very rare for you to summon me here alone, is there something you want to tell me, sis?"
Hestia's smile – which had been on her face for their whole conversation thus far – faltered and vanished completely when she nodded.
"So..." Hera urged. "What is it, sis?"
Hestia strengthened her resolve and stared Hera in the eyes.
"It's time for me to go, Hera."
Hera blinked her eyes a few times, seemed unable to take in what Hestia just said.
"Go... where, sis?"
"It's time for me to join Pan."
Hera's heart skipped a beat. "What...?"
"As you know yourself," Hestia started, not giving Hera the chance to finish. "Family values are faltering these days, and you have to exert you power to just simply to keep it in existence."
Hera opened her mouth to start, but Hestia continued, "but by doing that, you – we – have made humans thinks that 'home' is only where their family resides. They become unable to find a home in other places, except in the midst of their family.
"Humans used to need me, because in the past they were forced to live apart from their families for unbelievably long stretches of time, so they're forced to make their own homes without the presence of family.
"But now, with traveling and communications are as easy as nowadays, it's very easy for humans to think family is always identical with home. Home is no longer where the heart is, but where family is – whether you like your family or not."
"Yes, but..." Hera found it difficult to speak, because it's very rare for Hestia to speak as much as this.
"Those who choose to live with animals are branded as weird people, and those who enjoyed their home in solitude are called antisocial, and those who choose not to marry just because they don't want to are looked down upon and most times even automatically branded as homosexuals.
"Can't you see, Hera? Since you have to exert your powers to defend family values, the value of home are no longer able to be varied. Family IS home, there's no other choice of 'home' for present humans."
Hera closed her mouth, finding truth in what Hestia said.
"So..., yes. Since family is now the root of 'home', it seems my existence is no longer required." Hestia concluded.
"But, sis, it doesn't mean that you have to va... to tread the same road as Pan!"
"What other choice is there for me, Hera? The warmth of home is my essence, and yet the concept of a place where someone can be oneself without fear of judgment and ridicule no longer exists outside of family settings."
Hestia scooted over to Hera's side, touched Hera's shaking shoulder and said, "Humans do not need two patron goddesses for family, Hera. I have to go."
Unconsciously Hera shook her head slowly. She knew that what Hestia postulated is correct. They didn't have any choice. In this day and age Hera must continue to exert her full power to promote family values, but by doing so she'd erased the possibility for the acceptance of different concepts of home.
Hestia tapped Hera's shoulder softly, and Hera turned to look at her eldest sister.
A thin smile came to Hestia's lips and and she gave a soft kiss on Hera's cheek. "Give my love to the others, and please, keep my love in your heart."
After that, Hestia stood up and turned toward the twin gigantic golden doors of the Olympian throne room. The door slowly – reluctantly – opened for her for the last time.
Hestia already walked with light steps towards the door when Hera came to her senses and stood up.
She can't let her sister vanish just like that. She couldn't, she wouldn't let it to be so. She is the queen of the gods, there must be something she can do to prevent Hestia from vanishing.
But it's to late.
Hestia already stepped on the border of the door and a blinding light emanated from her body with such powerful force that Hera had to use her power simply so that she won't be swept away.
Slowly the light died out, and the golden doors swung shut with deafening sound.
Olympus shook with Hera's anguished cry.

Thursday, November 18, 2010

Le Roi Danse


Note: Okay, gue tahu seharusnya gue menulis tentang kehidupan gue di Surabaya, tapi jujur saja hampir tidak ada hal luar biasa yang patut untuk diceritakan sampai dengan saat ini. Jadi daripada blog ini menganggur, akhirnya gue memutuskan untuk menulis entry ini. Semoga saja nanti-nantinya ada hal-hal menyenangkan yang bisa gue tulis mengenai kehidupan baru gue di Surabaya.

Film ini berjudul La Roi Danse (Sang Raja Sedang Menari). Film ini adalah film berbasa Perancis buatan tahun 2000 oleh seorang sutradara Belgia bernama Gerard Corbiau.

Cerita film ini berfokus pada kehidupan dan hubungan dua orang tokoh utamanya. Tokoh yang pertama adalah seorang komposer musik Baroque bernama Jean Baptiste Lully (1632-1687),


yang dimainkan oleh Boris Terral.

Lalu penokohan yang kedua adalah Raja Louis XIV (1638-1715),

yang dimainkan oleh Benoit Magimel.


Gue nggak begitu tahu mengenai seberapa tepatnya film ini menceritakan sejarah kehidupan dan hubungan kedua tokoh itu. Biasanya gue agak terganggu dengan film-film dokumenter yang terlalu melenceng dari sejarah sebenarnya, namun untuk kali ini gue bersedia untuk menutup mata terhadap ketidaktepatan yang mungkin ada. Sebabnya adalah, musiknya amat sangat bagus sekali!

Sebelum menonton film ini gue sama sekali tidak tahu apa-apa tentang komposer yang bernama Jean Baptiste Lully, tapi begitu selesai menonton film ini, gue langsung termehek-mehek dengan komposer yang satu itu.

Perlu diperhatikan bahwa pada setting waktu yang ada di film itu, Perancis menganut selera musik yang berbeda dengan Italia. Itali cenderung kepada opera, sedangkan Perancis lebih cenderung menyukai lagu-lagu yang mengiringi tarian dan balet.

Kebetulan, raja Louis XIV suka menari. Ingat, dia bukan suka MENONTON tarian, tapi dia suka MENARI. Lully, yang kelahiran Florence (bagian dari Itali), adalah seorang komposer dengan ciri-ciri musik yang dinamis sehingga lagu-lagu buatannya memang cocok untuk menari.

Klop kan?

Karena kecocokan itulah Lully kemudian menjadi komposer favorit Louis. Lully sendiri merasa ia telah menemukan 'kanvas' yang tepat dalam diri Louis. Jadilah Lully sering membuat komposisi-komposisi lagu yang sengaja dibuat khusus untuk mengiringi tarian Louis.

Karena sering berkreasi dalam musik dan tari bersama-sama, hubungan Raja-Komposer itu menjadi dekat, bahkan Lully menjadi salah satu dari sedikit orang yang dianggap oleh Louis sebagai teman.

Dari kedekatan itu juga Lully jadi bisa memperhatikan dan menyaksikan secara langsung perkembangan Louis dari yang hanya merupakan seorang anak kecil yang diangkat menjadi raja 'boneka' oleh ibu dan menteri-menterinya, sampai Louis menjadi raja yang sebenarnya.

Itulah yang menjadi tema inti film ini, kehidupan raja Louis XIV dilihat dari mata seorang komposer istana.

Tapi untuk gue pribadi, itu tidak penting. Kalau sekedar ingin mengetahui sejarah asli kehidupan Louis dan Lully, gue bisa cari-cari website yang membahas tentang itu.

Yang membuat gue termehek-mehek berat dengan film ini adalah musiknya. Lagu-lagu yang dikedepankan dalam film ini tentu saja lagu-lagu yang dibuat oleh Lully, dan hampir semuanya benar-benar membuat gue terpesona.

Contohnya adalah "Te Deum" yang ada di video ini (lagunya dimulai di menit 2:41).



Yang ditampilkan di video itu memang bukan Te Deum yang lengkap. Itu hanya pembukaannya saja. Setelah itu seharusnya mulai masuk solo Tenor, disusul Bariton, dll sampai akhirnya paduan suara lengkap (panjang lagu itu aslinya 6 menit sendiri).

Selain lagu-lagunya, ada faktor lain yang membuat gue terpesona dengan film ini.

Kostumnya.

Walaupun ada beberapa kostum yang jujur saja terlalu tacky untuk selera gue, tapi gue harus mengakui bagian wardrobe film ini sudah berkerja dengan sangat baik.

So, untuk anda yang suka lagu-lagu baroque, atau film dokumenter (walaupun tidak benar-benar akurat), atau kostum-kostum eropa jaman abad ke-17, atau sekedar ingin melatih kemampuan bahasa Perancis, silahkan saja menonton film ini. Hehehe...

(Arrrrggghhh.... akhirnya gak tahan juga buat menulis ketidak tepatan film ini. Ada bagian dimana Louis ceritanya lagi sakit parah, dan demi mempertahankan keberlangsungan kerajaan dan dinasti, ibu Louis meminta Luois untuk menunjuk sepupu Louis sebagai pewaris tahta. Aslinya Louis punya adik laki-laki bernama Phillipe, jadi dia tidak perlu menunjuk siapa-siapa untuk menggantikan dirinya kalau dia sampai meninggal sebelum sempat punya anak. Oke lah, harus gue akui kalau adik Louis adalah seorang gay, tapi fakta itu tidak pernah menghalangi siapapun untuk naik jadi raja sebelumnya (atau di masa-masa sesudahmya). Kalau penasaran adik Louis itu seperti apa, monggo dilihat sendiri



Okay, his bow tie really made him looks oh so fabulous. Tapi sekali lagi, tidak ada alasan apapun yang bisa membuat Phillipe dilupakan begitu saja dalam sebuah film yang membahas tentang kehidupan Louis.)

Sunday, November 14, 2010

A New Start (?)






Your Summer Ride is a Beetle Convertible


Fun, funky, and a little bit euro.

You love your summers to be full of style and sun!


Ya ya ya, gue tahu kalau gue sudah berbulan-bulan tidak menulis blog, dan gue tidak punya alasan baik untuk hal itu. Really sorry about that. :-p

Jadi, sudah berapa lama nih? Terakhir menulis post di bulan Februari kemarin dan sekarang sudah bulan November. Berarti 9 bulan lamanya gue sudah tidak menulis post di blog. Ckckck... bener-bener lama ya. Kalau gue cewek pasti udah ada yang nanyain apa kira-kira gue hamil kok 9 bulan nggak ada kabarnya. Untung aja gue cowok. Hahaha...

Nah, mari kita lakukan up-date tentang diri gue sejak bulan Februari itu. Pertama, gue sudah dapat SK sebagai notaris (yay!) dan bulan April kemarin gue juga sudah diambil sumpahnya sebagai Notaris di kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Dan, ya, sejak bulan itu gue sudah pasang plang notaris di Gresik. Sayangnya plang itu baru dipasang di depan sebuah gedung pinjaman teman nyokap gue. Hiks... jadi intinya belum bisa dibilang kantor permanen lah. Oh well...

Lalu apa yang gue lakukan antara bulan April sampai sekarang ini, yang mana sudah 5 bulan lamanya? Well... nothing. :-D

Yup, gue tidak melakukan apapun, atau paling tidak gue tidak melakukan sesuatu yang benar-benar konstruktif.

Sejak bulan April itu gue konsentrasi dengan dengan proses penjualan rumah keluarga gue di Jakarta, yang mana prosesnya memakan waktu sampai bulan Agustus baru bisa selesai.

Di antara waktu-waktu itu gue hanya bisa mondar-mandir Jakarta-Gresik demi memenuhi syarat "tidak boleh meninggalkan wilayah tugas selama lebih dari 7 hari berturut-turut". Haeh... Capek men jadi setrikaan mondar-mandir begitu. Tapi, namanya juga bagian dari resiko pekerjaan, mau diapakan lagi?

Lalu setelah proses jual beli rumah selesai di bulan Agustus itu, langkah selanjutnya adalah proses pindahan permanen dari Jakarta ke Surabaya. Ini juga perjuangan panjang yang jujur saja sampai sekarang belum benar-benar selesai (contohnya, KTP gue sekarang masih KTP Jakarta).

Well, proses pindahan itu sendiri makan waktu sekitar 2 bulan dan pada tanggal 7 Oktober 2010 secara resmi gue pindah dari Jakarta ke Surabaya. Yeah! I'm finally back to Surabaya baby!

Jadi, secara de facto gue sekarang adalah warga Surabaya sampai dengan waktu yang tidak ditentukan. Hehehe... Secara de jure gue masih warga Jakarta karena KTP gue masih KTP Jakarta dan gue masih belum tahu kapan bisa sempat ke Jakarta untuk mengurus perpindahan KTP itu. (kalau mengingat sifat gue, sepertinya kalau nggak kepepet banget mungkin nggak bakal gue pindah tuh KTP, hahaha...)

Untuk kalian yang tidak familier dengan geografi Provinsi Jawa Timur mungkin bertanya-tanya kenapa kok gue malah tinggal di Surabaya padahal gue adalah notaris Kabupaten Gresik. Jawabannya sebenarnya cukup sederhana. Kabupaten Gresik terletak pas di sebelah Barat Kota Surabaya. Jadi kalau kalian sedang melihat peta Provinsi Jawa Timur, dan kalian menemukan Kota Surabaya di peta itu, silahkan geser mata kalian sedikiiitt ke kiri, dan tadaaa... di situlah letaknya Kabupaten Gresik.

Untuk kalian yang biasa di Jakarta, bayangkan letak Kabupaten Tangerang dari arah Kota Jakarta. Ya, seperti itulah letak Kabupaten Gresik terhadap Kota Surabaya. Terlebih lagi, sejarahnya bilang kalau Kabupaten Gresik itu dulunya disebut sebagai Kabupaten Surabaya. Kemudian antara Kabupaten dan Kota Surabaya itu mengalami pemekaran, dan keduanya memisahkan diri. Supaya tidak membingungkan (mungkin, gue nggak tahu pasti sebabnya apa), Kabupaten Surabaya merubah namanya menjadi Kabupaten Gresik.

Nah untuk waktu sekarang ini gue sedang berkonsentrasi mencari bangunan (gue nggak tahu bakalan ruko, atau kios, atau apaan) yang bisa gue sewa dan gue jadikan kantor permanen gue. Yah, kepengennya sih dapat tempat di pinggir jalan besar. Bangunannya sendiri tidak perlu besar atau luas, yang penting cukup untuk dipakai kerja, tapi yang lebih penting adalah letaknya harus di pinggir jalan besar. Alasannya supaya gue bisa 'nampang' di hadapan khalayak ramai di Gresik.

Alasan utamanya, gue adalah notaris baru. Itu saja sudah merupakan alasan utama kenapa gue harus nampang di pinggir jalan besar. Gue harus meyakinkan bahwa sebanyak mungkin orang harus bisa melihat plang nama gue, dan bisa melihat kantor gue. It's the only way untuk mendapatkan klien karena notaris tidak diperbolehkan mempromosikan diri dengan cara lainnya.

Alasan yang kedua adalah, gue bisa dibilang sebagai orang baru di Gresik dan bahkan di Jawa Timur secara keseluruhan. Di sini banyak notaris-notaris baru lainnya, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang Jawa Timur asli, atau lulusan Universitas Airlangga, atau sekedar sudah lama tinggal di Gresik, jadi mereka kemungkinan sudah punya kenalan-kenalan di sini yang bisa membantu mereka 'menebar nama'. Sementara gue yang besar dan sekolah di Jakarta adalah seorang newbie di sini dan baru akan memulai membangun jaringan dengan orang-orang di sini.

Yah, dengan kata lain, masih ada BANYAK hal yang harus gue lakukan di sini. Tapi untuk sementara ini, gue harus berkonsentrasi mendapatkan tempat yang bisa gue sewa untuk menjadi kantor gue.

Nah, lalu, ada satu hal lagi yang sebenarnya membuat gue akhirnya memutuskan untuk menulis post kali ini. Hal itu adalah, adik gue punya band. Yeay!

Band dia bernama Flazlite. Jujur aja, gue belum tahu banyak tentang band dia itu, tapi kemarin malam dia ngasih tahu gue tentang account band dia itu di Myspace, dan di account tersebut Flazlite memposting lagu buatan mereka sendiri, jadi buat yang anda-anda sekalian yang pengen iseng-iseng mendengarkan lagunya silahkan langsung klik di bawah ini:

FLAZLITE BAND ON MYSPACE

Judul lagu mereka adalah "Meskipun Waktu", dan sepertinya termasuk jenis lagu ballad. Gue nggak tahu memang mereka aslinya bermaksud membuat lagu itu jadi lagu ballad atau tidak, tapi yang gue tangkep setelah mendengarkan lagu itu adalah, ya, itu adalah sebuah lagu ballad.

Adek gue adalah vokalisnya (namanya Heru) jadi, iya, itu adalah suara dia. Bagus ya? (bertanya begitu sambil tersenyum sadis dan memegang pisau dengan aura mengancam)

Jadi silahkan didengarkan, dan tinggalkan komentar di account mereka. Dengar-dengar mereka masih punya lagu lainnya, dan gue pengen cepetan dengerin lagu mereka yang lain itu. Hehehe...

Terakhir, gue berencana ingin lebih aktif lagi menulis post di blog ini, terutama tentang petualangan-petualangan gue di Surabaya, Gresik, dan bahkan mungkin di wilayah-wilayah lainnya di Jawa Timur ini. Doakan saya! :-D

Saturday, February 06, 2010

Heidelberg, 4 Februari 2010


"Selamat ya, akhirnya SK kamu sudah keluar."

"Thanks."

"Besok kamu ulang tahun kan? Aku ucapin selamat dari sekarang saja ya, aku kuatirnya besok aku tidak sempat telepon."

"Terima kasih Na."

...

"Kamu sepertinya lagi banyak pikiran ya?"

"Kamu tahu?"

"Dari tadi kamu cuma jawab omonganku seadanya. Kamu cuma seperti itu kalau sedang banyak pikiran."

"Hmm..."

"Kamu sudah mulai capek lagi ya?"

"... Iya."

"Mau sampai kapan?"

"Apanya?"

"Kamu seperti ini mau sampai kapan? Dari dulu kamu selalu berusaha melakukan apa yang orang minta dari kamu, padahal kamu sendiri tahu kalau kamu capek melakukan itu semua."

"Sayangnya aku memang seperti ini."

"Aku tahu mein leibe, aku tahu. Tapi kuatir kamu tidak akan kuat kalau seperti ini terus."

"Aku juga tahu itu kok."

"Sayangnya aku juga tidak bisa meminta kamu berhenti bersikap seperti ini."

"Kenapa begitu?"

"Karena hubungan kita bisa bertahan sampai sekarang karena sifatmu yang seperti itu."

"... Iya ya?"

"Iya mein liebe, makanya aku juga berusaha menjalani apa yang kita punya sekarang ini karena kamu yang seperti itu."

"Terima kasih Na."

"Tapi..."

"Kenapa Na?"

"Aku ingin kamu bisa santai kalau kepada aku. Terkadang aku ingin kamu bersikap egois terhadap aku."

...

"Tok? Kamu denger aku kan?"

"Iya aku dengar."

"Kamu ngerti maksud aku kan?"

"Aku ngerti. Tapi sebenarnya aku juga sudah bersikap egois terhadap kamu, baik kamu sadar atau tidak."

"Aku sadar kok Tok."

"Iyakah?"

"Kamu membicarakan tentang penundaan-penundaan selama ini kan?"

"Iya."

"Aku sudah bersama kamu hampir 6 tahun Tok. Meskipun 4 tahun dari 6 tahun itu kita jalani dengan saling berjauhan, tapi aku ngerti garis besar apa yang kamu inginkan. Dan aku rela nunggu sampai kamu mendapatkan apa yang kamu mau sampai puas."

...

"Mein liebe, kamu denger aku kan?"

"Iya, aku denger kok."

"Kenapa kamu kedengaran ragu begitu?"

"Aku takut kalau aku tidak akan bisa puas."

"Nggak apa-apa."

"Bener?"

"Bener. Kamu sudah mau mengikuti keegoisanku selama ini. Aku rasa hanya akan adil kalau aku juga melakukan yang sama untuk kamu."

"Terima kasih Na."

"Nggak apa-apa mein liebe. Lagipula kita masih punya perjanjian kita kan?"

"Selalu. Perjanjian itu tidak akan pernah aku cabut."

" Dengan perjanjian itu, paling tidak kamu bisa fair terhadap aku."

"..."

"Selain itu, mein liebe, kita sudah punya kenangan akan malam itu kan?"

"..."

"Tok, kamu masih disana?"

"Iya, kita akan selalu punya kenangan tentang malam itu."

...

"Ya sudah, kita sudahan dulu ya mein liebe. Besok aku kerja lagi, disini sudah hampir setengah 11."

"Okay."

"Inget, jangan terlalu maksain kalau kamu sudah capek."

"Okay."

"Tschüss. Liebe dich."

*click*

"I love you too."

.........