Akhirnya masa kuliah gue di Notariat UI sudah selesai. Well, selesai secara de facto-nya sih, karena de jure-nya kan baru bener-bener berakhir setelah gue ngambil ijazah. Setelah itu gue udah nggak wajib lagi dateng ke kampus lagi, kecuali kalo ntar gue mau legalisir foto copy ijazah. Hehehe...
Seperti yang sudah gue perkirakan, begitu selesai sidang badan udah nggak ada rasanya. Sepertinya otak, roh, dan tubuh sudah nggak bersatu dan masing-masing jalan sendiri-sendiri.
Otak memerintahkan agar kita teriak2 kegirangan, tubuh sudah kehabisan tenaga jadi hanya bisa diam saja, sementara roh sepertinya sudah terbang ke langit entah ke berapa dan sudah cuek dengan apapun yang ada di dunia ini.
Tapi lalu kesadaran harus ditarik kembali karena kita memang masih punya obligasi-obligasi lain yang harus dijalani. Namanya hidup memang nggak ada ujungnya ya? Hahaha...
Yang pengen gue bahas bukan sidang, atau tesis, atau apapun yang berhubungan langsung dengan kuliah. Yang gue perhatikan justru bagaimana setiap orang menghadapi perpisahan.
Ada yang begitu senangnya karena sudah selesai sidang, lalu sama sekali lupa bahwa dengan berakhirnya sidang maka hidupnya sebagai mahasiswa sudah selesai. Dia lupa kalau sudah waktunya untuk berpisah dengan kampus dan bahkan mungkin juga dengan teman-temannya.
Ada juga yang langsung sadar dan mau tidak mau jadi diliputi oleh perasaan melankolis.
Dan ada juga yang seperti gue, yang justru sibuk memperhatikan bagaimana orang lain menghadapi perpisahan. Hahaha...
Di jaman sekarang, dimana birokrasi mengatur segalanya, kita sudah nggak bisa lagi membedakan kapan sebenarnya sesuatu telah berakhir dan kapan sesuatu yang baru telah dimulai. Contohnya seperti keadaan lulus kuliah ini.
Kita nggak bisa tahu apakah 'akhir' yang dimaksud adalah pada detik sidang dinyatakan selesai, ataukah pada saat administrasi kampus sudah diselesaikan semua, ataukah pada saat wisuda, atau pada saat diadakan acara perpisahan.
Batas awalnya jelas, yaitu pada saat pertama kali kita memutuskan untuk kuliah. Secara konsep, rencana kuliah adalah awal dari kuliah. Tapi bagaimana dengan akhir? Untuk menentukan akhir memang sangat sulit. Siapa tahu di masa depan nanti terjadi musibah sehingga ijazah milik kita hancur/rusak dan kita terpaksa mengurus ijazah baru dari kampus. Berarti hubungan kita dengan kampus belum berakhir kan?
Hidup juga begitu. Kita mungkin bisa melacak sampai ke detik dan menit seseorang pertama kali di'konsepsikan' oleh orang tuanya, tapi kapan sebenarnya kehidupan berakhir? Apakah pada saat kematian, atau pada saat peringatan 1000 hari kematian (kebiasaan di islam, peringatan kematian hanya sampai 1000 hari), atau pada saat keluarga kita sudah musnah semua sehingga sudah tidak ada lagi yang ingat kepada kita, atau benar-benar berakhir pada saat kiamat, atau, sekali lagi, justru tidak pernah berakhir karena katanya roh itu abadi?
Dengan pola pikir itu, gue berusaha untuk nggak sedih berpisah dengan temen-temen gue selama di Notariat. Karena dengan lulus bukan berarti berakhir. Siapa tahu nanti kita jadi teman sekantor, atau tetangga, atau bahkan menjadi famili. We'll never know.
Karena bingung harus bersikap bagaimana, jadilah gue kembali berpegangan pada senjata lama gue, yaitu menghadapi segalanya one step at a time. Satu per satu. Mana yang datang terlebih dulu, itu yang dihadapi duluan.
Seperti sekarang, berarti langkah gue selanjutnya adalah membuat revisi, lalu menghadap dosen2 penguji untuk memeriksa hasil revisi, membuat hard cover tesis, foto untuk wisuda dan ijazah, dan lain sebagainya. Semua dijalani secara teratur dan satu per satu.
Yah, tapi nggak guna juga mikir terlalu filosofis untuk saat ini. Mending sekali lagi gue memutuskan untuk ikut dalam euforia massa, dan turut bersenang-senang merayakan kelulusan, yang menandakan berakhirnya petualangan gue di sebuah NERAKA yang bernama Program Magister Kenotariatan UI. Huahahaha...
Seperti yang sudah gue perkirakan, begitu selesai sidang badan udah nggak ada rasanya. Sepertinya otak, roh, dan tubuh sudah nggak bersatu dan masing-masing jalan sendiri-sendiri.
Otak memerintahkan agar kita teriak2 kegirangan, tubuh sudah kehabisan tenaga jadi hanya bisa diam saja, sementara roh sepertinya sudah terbang ke langit entah ke berapa dan sudah cuek dengan apapun yang ada di dunia ini.
Tapi lalu kesadaran harus ditarik kembali karena kita memang masih punya obligasi-obligasi lain yang harus dijalani. Namanya hidup memang nggak ada ujungnya ya? Hahaha...
Yang pengen gue bahas bukan sidang, atau tesis, atau apapun yang berhubungan langsung dengan kuliah. Yang gue perhatikan justru bagaimana setiap orang menghadapi perpisahan.
Ada yang begitu senangnya karena sudah selesai sidang, lalu sama sekali lupa bahwa dengan berakhirnya sidang maka hidupnya sebagai mahasiswa sudah selesai. Dia lupa kalau sudah waktunya untuk berpisah dengan kampus dan bahkan mungkin juga dengan teman-temannya.
Ada juga yang langsung sadar dan mau tidak mau jadi diliputi oleh perasaan melankolis.
Dan ada juga yang seperti gue, yang justru sibuk memperhatikan bagaimana orang lain menghadapi perpisahan. Hahaha...
Di jaman sekarang, dimana birokrasi mengatur segalanya, kita sudah nggak bisa lagi membedakan kapan sebenarnya sesuatu telah berakhir dan kapan sesuatu yang baru telah dimulai. Contohnya seperti keadaan lulus kuliah ini.
Kita nggak bisa tahu apakah 'akhir' yang dimaksud adalah pada detik sidang dinyatakan selesai, ataukah pada saat administrasi kampus sudah diselesaikan semua, ataukah pada saat wisuda, atau pada saat diadakan acara perpisahan.
Batas awalnya jelas, yaitu pada saat pertama kali kita memutuskan untuk kuliah. Secara konsep, rencana kuliah adalah awal dari kuliah. Tapi bagaimana dengan akhir? Untuk menentukan akhir memang sangat sulit. Siapa tahu di masa depan nanti terjadi musibah sehingga ijazah milik kita hancur/rusak dan kita terpaksa mengurus ijazah baru dari kampus. Berarti hubungan kita dengan kampus belum berakhir kan?
Hidup juga begitu. Kita mungkin bisa melacak sampai ke detik dan menit seseorang pertama kali di'konsepsikan' oleh orang tuanya, tapi kapan sebenarnya kehidupan berakhir? Apakah pada saat kematian, atau pada saat peringatan 1000 hari kematian (kebiasaan di islam, peringatan kematian hanya sampai 1000 hari), atau pada saat keluarga kita sudah musnah semua sehingga sudah tidak ada lagi yang ingat kepada kita, atau benar-benar berakhir pada saat kiamat, atau, sekali lagi, justru tidak pernah berakhir karena katanya roh itu abadi?
Dengan pola pikir itu, gue berusaha untuk nggak sedih berpisah dengan temen-temen gue selama di Notariat. Karena dengan lulus bukan berarti berakhir. Siapa tahu nanti kita jadi teman sekantor, atau tetangga, atau bahkan menjadi famili. We'll never know.
Karena bingung harus bersikap bagaimana, jadilah gue kembali berpegangan pada senjata lama gue, yaitu menghadapi segalanya one step at a time. Satu per satu. Mana yang datang terlebih dulu, itu yang dihadapi duluan.
Seperti sekarang, berarti langkah gue selanjutnya adalah membuat revisi, lalu menghadap dosen2 penguji untuk memeriksa hasil revisi, membuat hard cover tesis, foto untuk wisuda dan ijazah, dan lain sebagainya. Semua dijalani secara teratur dan satu per satu.
Yah, tapi nggak guna juga mikir terlalu filosofis untuk saat ini. Mending sekali lagi gue memutuskan untuk ikut dalam euforia massa, dan turut bersenang-senang merayakan kelulusan, yang menandakan berakhirnya petualangan gue di sebuah NERAKA yang bernama Program Magister Kenotariatan UI. Huahahaha...
No comments:
Post a Comment