Monday, March 23, 2009

Pilihan


Gue tiba-tiba terpikir tentang sesuatu permasalahan setelah ngobrol sama temen gue. Permasalahan yang mungkin tidak terlalu berarti untuk kebanyakan orang, tapi gue yakin kebanyakan orang pasti akan menghadapi permasalahan seperti ini, paling tidak sekali dalam hidupnya.

Pikiran itu adalah, kalau suatu hari lo dihadapkan pada pilihan dua pilihan. Pilihan pertama adalah lo bisa maju tapi dengan syarat meninggalkan teman-teman lo, dan pilihan kedua adalah tetap bersama dengan teman-teman seperjuangan dan melewatkan kesempatan untuk maju. Lo akan memilih jalan yang mana?

Gue pribadi, gue akan memilih jalan yang kedua. Bukannya gue sok baik. Justru gue memilih jalan itu karena gue egois. Gue egois karena gue nggak mau menimbulkan perasaan tidak enak terhadap temen-temen gue sendiri.

Mungkin itu juga yang membuat gue mau menjalani pekerjaan yang gue jalani sekarang, karena dalam lapangan pekerjaan gue ini pelakunya justru dituntut untuk mandiri dan independen dari awal. Dengan kata lain, pekerjaan ini harus dijalani sendirian dari awal. Berteman dan menjalin hubungan rekanan boleh-boleh saja, tetapi karena pada prinsipnya kita sendirian, maka tidak akan ada resiko dihadapkan pada pilihan seperti itu.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang dalam pekerjaannya justru dituntut untuk dapat berkerja bersama dengan orang-orang yang sudah pasti lambat laun akan menjadi temannya? Jarang sekali ada kesempatan untuk dapat maju bersama-sama, lalu kalau pilihan itu akhirnya datang, elu akan pilih yang mana?

Mungkin egoisme yang terpancar dari pilihan pertama tidak bisa dipungkiri, tetapi kalau kita mau jujur... ada apa lagi pilihannya kalau ingin maju?

Gue nggak tega meninggalkan teman-teman yang sudah berjuang bersama-sama, apalagi membuang dan memungkiri mereka, padahal dulu pada awalnya kita pernah menangis, tertawa, dan bahkan marah bersama.

Kalau memang dari awal sudah tahu ingin maju sendiri, kenapa harus menjalin hubungan cameraderie seperti itu? Jalani saja sendiri.

Hhh... sedikit banyak jadi emosi juga sih. Tapi gue harus bisa objektif. Orang itu tidak punya pilihan lain selain membuang kita. Biarlah... Sebagai teman gue hanya bisa mendoakan yang terbaik buat dia.

Gue akan tetap menganggap dia sebagai teman, itu tidak akan pernah berubah. Gue nggak bisa sentimen sama dia karena kalau gue sampai begitu, maka gue akan mengingkari sifat dasar manusia, yaitu ingin maju. Gue sendiri adalah manusia, dan kalau gue mengingkari itu, maka gue mengingkari diri gue sendiri.

Tapi jujur... rasa sakitnya akan terus terasa setiap kali melihat orang itu.

Biarlah... toh jalan kita sudah berbeda. Walaupun dia memilih jalannya dengan cara seperti itu, dia tidak merugikan gue.

If God wills it, we shall meet on the same path again someday. Wether in this world or the next one, I hope we shall be able to see eye to eye again.

4 comments:

Unknown said...

Oke...gue gk ngeliat sisi 'egois' dari pilihan kedua...coba tolong dijelaskan lagi hehehe

Tapi gue ndiri juga milih nomor dua sih To...bukan karena gue egois, tapi karena gue 'takut' untuk memulai segala sesuatu dari awal. Udah gitu, udah pasti kita keluar dari comfort zone kita 'kan? Nah itu yang agak-agak gue hindari...

Itu sih menurut pandangan gue yah...pada kenyataannya nanti well gue belum bisa bilang juga.

Toh kalo kita bisa maju tanpa harus 'mengorbankan' teman-teman kita, kenapa enggak? Kalo kita bisa maju dan kemudian ikut membawa maju temen-temen kita, kenapa enggak?

Yang gue benci dan sebisa mungkin hindari adalah di saat gue mendapat kesempatan untuk maju, tapi gue harus mengorbankan [bukan meninggalkan lho ya, karena kalo kita meninggalkan dengan baik-baik, gue rasa gak akan ada masalah] orang lain.

Itu sih gue...

Emang sebenernya ada apa sih?

Ditogendut said...

Gue bilang, gue pilih pilihan pertama karena gue egois.

Kenapa gue egois?

Karena gue mau cari jalan damainya aja, padahal ada pilihan yang lebih cerah gemilang di depan mata tapi nggak gue ambil karena gue nggak mau repot sama perasaan nggak enak ke temen-temen yang terpaksa gue tinggalkan.

Begitu lho Ze. Comprende? Hehehe...

Trus tentang comment lo yang:
"Yang gue benci dan sebisa mungkin hindari adalah di saat gue mendapat kesempatan untuk maju, tapi gue harus mengorbankan [bukan meninggalkan lho ya, karena kalo kita meninggalkan dengan baik-baik, gue rasa gak akan ada masalah] orang lain."

Coba baca post gue lebih detil. Di awal mungkin gue pakai istilah "meninggalkan", tapi di bagian akhir, gue akhirnya mengeluarkan maksud gua yang sebenarnya, yaitu "membuang".

Membuang di sini artinya, si orang itu (yang meninggalkan), tidak hanya sekedar meninggalkan, tapi bener-bener pergi nggak bilang-bilang dan bahkan memungkiri bahwa jalan yang membawanya ke kejayaan itu telah dirintisnya bersama-sama dengan kita sebagai rekan-rekan yang pernah senasib dan sepenanggungan.

Yah, bahasa halusnya, dia memungkiri bahwa teman-temannya juga punya andil di dalam jalan yang sedang dijalaninya itu.

Kapish?

Tentang "Emang sebenernya ada apa sih?", sorry... fidelis business. Yah... anggap aja gue lagi mellow n ingin berbagi ke-mellow-an gue ini melalui tulisan gue. Hehehe...

Anonymous said...

Gak ngerti...



Tapi baca komentar Dito terakhir, gw kasian sm org tsb. What you reap is what you sow.
Kyknya "mantan" temen elu ini blm tau falsafah ini.

Lagian, betapa sepinya berada sendirian di puncak. Tidak ada org untuk berbagi kebahagiaan akan keberhasilan elu. Malah, kalau menoleh ke bawah yg dilihat bknlah org2 yg mendukung, tapi org2 yg berusaha utk menjatuhkan elu dan merebut posisi elu.

Kacau.

Ditogendut said...

Gue nggak sampai menjatuhkan vonis menjadikan dia 'mantan' teman sih Yan. Toh dia juga mungkin nggak gitu sadar kalo dia udah secara nggak langsung 'membuang' teman-temannya. Jadi technically kesalahan dia ini adalah kesalahan yang tidak disengaja. N sesuai dengan apa yang gue tulis di blog si Ze, buat gue kesalahan yang nggak sengaja emang sebaiknya dimaafkan.

Tapi... rasa sakitnya sih kerasa banget lho. Sampe nyut-nyutan tau ga? Bener-bener serasa jadi ngerti perasaan emak-nya Malin Kundang. Hehehe...

Tapi tetep, anaknya baik kok Yan. Untuk sementara ini yang menyadari kesalahan dia cuman baru gue doang di lingkungan temen-temen dia, jadi gue sih masih diem saja. Tapi karena anaknya baik, ya kalau sampai ada orang lain yang berani 'menarik' dia untuk jatuh, gue tetep salah satu yang nolongin dia.