Sudah lama banget gue gak bikin entry di blog ini. Well, alasan utamanya karena sambungan internet gue yang amat sangat minimalis jadi bikin gue males on-line, dan alasan kedua adalah gue juga bingung mau bikin entry tentang apa. Hehehe…
Sebenernya ada sih beberapa hal yang pengen gue posting di sini, tapi kadang hal-hal itu sebegitu panjang dan lebar sampai-sampai gue sendiri males buat menyusunnya jadi satu postingan, sementara kalau dipisah-pisah malah gue jadi males buat ngelanjutinnya nanti.
Intinya sih satu: gue orangnya males. Wkwkwk…
Well, mending gue ngebahas hal ‘besar’ yang gue jalani belakangan ini aja kali ya? Sebenernya ini bukan cerita baru juga sih, karena gue ngejalanin ini udah hampir 5 bulan yang lalu. Alasan utama gue nggak mau membahas tentang hal ini adalah karena kemarin-kemarin hasilnya belum jelas. Tapi akhirnya beberapa minggu lalu hasilnya sudah diumumkan, jadi gue sudah lebih berani untuk menceritakan hal ini.
So, tema cerita gue adalah: UJIAN PPAT
Jeng jeng jeng… *musik dramatis*
Akhirnya setelah menanti dan menunggu dalam kegalauan (hallah!) gue bisa juga ikutan tuh ujian PPAT. Terakhir kali ujian ini diadakan pas tahun 2009, dan saat itu usia gue baru 28 tahun. Karena usia yang masih belum 30 tahun itulah makanya gue nggak bisa ikut ujian PPAT waktu itu. Gondok sih, karena udah gemes pengen cepetan ujian (biar gak kepikiran lagi) tapi ternyata belum boleh ikutan.
Karena gak ada pilihan lain, ya akhirnya gue cuman bisa menunggu sambil konsentrasi saja dengan berkerja sebagai Notaris. Hadeuh… jadi notaris tanpa jadi PPAT rasanya beneran pincang, tapi mau bagaimana lagi? Dijalani saja lah. Cuman kadang-kadang gak enak sama calon klien yang dateng ke kantor membawa berkas-berkas tanah untuk dijual-beli, dihibahkan, di-inbreng, atau diapakan saja. Karena gue belum PPAT setiap ada orang dateng begitu mau gak mau ya gue harus merujuk mereka ke teman Notaris lain yang sudah punya PPAT.
Gue bukan masalahin rejeki yang lepas atau gimana (gue penganut “kalo rejeki udah jodoh ya gak bakal kemana-mana” hehehe…) tapi gue kasihan sama calon kliennya. Coba deh taruh diri kita di posisi mereka. Mereka udah pilih-pilih notaris, mikir-mikir kapan bisa mampir ke notaris itu, siap-siapin berkas yang mungkin diperluin, dan bahkan mungkin sudah janjian dengan keluarga atau orang lain yang mau dibawa bareng ke kantor notaris itu. Eh, begitu masuk ke kantor notarisnya, ternyata si notaris belum PPAT jadi gak bisa bantu selain merujuk ke notaris lainnya.
Kesannya baru mulai aja kok udah dapet kekecewaan. Keadaan seperti itu kan malah bisa bikin ilfil, karena sebuah proses kok sudah dimulai dengan sesuatu yang diluar perhitungan.
Oh well…
Tapi nggak apa-apa. Moga-moga sebentar lagi gue nggak usah lagi memberi jawaban “Maaf Pak/Bu, saya belum PPAT jadi belum bisa membantu Bapak/Ibu. Mungkin Bapak/Ibu mau saya rujukkan saja ke rekanan saya yang sudah PPAT?”
Nah, balik ke tema utama, yaitu tentang Ujian PPAT.
Gue daftar ujian PPAT sudah dari November tahun kemarin, dan ujiannya sendiri diadakan bulan April tahun ini.
Langkah pertama setelah tahu kalau akan diadakan ujian PPAT adalah gue langsung kelimpungan buat cari temen bareng karena ujiannya diadakan di Sleman, Jogjakarta. Males banget kalau sampai harus menjelajahi Jogja sendirian. Belum lagi kalau sampai harus kesasar-sasar sendirian. Whadaw… Selain itu kalau ada temen bareng kan lumayan bisa diajak belajar bareng biar gak garing, dan kalau ada sesuatu yang gue gak tahu kan jadinya bisa tanya-tanya dia. Hehehe…
Tapi gue juga males kalau harus join sama temen-temen yang kelompoknya besar, secara gue udah pengalaman kalau kelompoknya terlalu besar begitu yang ada bukannya bisa belajar, yang ada malah ngerumpi dan ngobrol ngalor-ngidul. Haduh… bisa hancur mina dah hasil ujian gue kalau malah ngerumpi dan bukannya belajar. Masa nanti pas ujian gue jawab pertanyaannya malah dengan hasil rumpian gue sama temen-temen? Yang ada pegawai Badan Pertanahan yang koreksi kertas ujian gue ngira kalau gue udah edan. Wkwkwk…
Untungnya temen magang gue dulu, si Ochie, malah duluan ngajakin gue bareng untuk ujian. Dan dia juga gak mau join sama teman-teman yang kelompoknya besar dengan alasan yang sama seperti alasan gue. Ya bagus lah, akhirnya kita putusin kalau kelompok kita ini bakal hanya berdua, gue dan dia, saja. Paling kalau nanti-nanti nambah satu orang boleh lah.
Masalahnya adalah… Ochie itu cewek. Gue sih seneng-seneng aja punya temen bareng, tapi temen bareng kan lebih enak kalau bisa nyewa kamar hotel berbarengan. Hitung-hitung menghemat biaya hotel kan. Lha ini gue cowok, barengnya sama anak cewek, masa mau sekamar? Apalagi si Ochie udah menikah juga, jadi dia itu istri orang, saudara-saudara. Apa lah nanti kata dunia? Yuk mari skandal. Hehehe…
Gue sih udah pasrah aja dah. Yang penting kan punya temen barengan yang bisa diajak belajar. Apalagi gue dan Ochie dulu magang bareng, jadi kurang lebih kita udah ngerti sifat n pembawaan masing-masing.
Ternyata, saudara-saudara, dia nelpon gue n bilang kalau nanti di Jogja lebih baik kita sekamar aja demi penghematan biaya. Gue udah bingung mau jawabnya gimana. Kalau gue pribadi sih orangnya cuek, dia mau sekamar sama gue ya nggak apa-apa. Tapi suami dia gimana? Kalau suaminya tahu belakangan bahwa istrinya sekamar sama gue apa nggak keluar tanduknya tuh suami?
Eh gak tahunya tiba-tiba suaminya gantian ngomong ke gue, minta supaya gue sekamar sama istrinya, itung-itung sekalian ngejagain istrinya.
Gue gak tahu harus bereaksi gimana lagi selain: GUBRAK!
Wakakaka…
Oh well, kalau suaminya saja udah percaya sama gue, ya sudah lah, mau gimana lagi? Paling kalau ditanya sama orang lain ya kita ngaku sepupuan aja lah ya. Xixixi… Sepupu ketemu tua.
Enaknya buat gue, si Ochie ini penganut faham "gerak cepat". Dia langsung nyari-nyari hotel yang lumayan murah n gak terlalu jauh dari tempat penyelenggaraan ujian. Jadinya gue cuman tinggal oke-oke saja sama hotel hasil temuan dia. Hehehe…
Setelah menunggu dan mempersiapkan berbagai bahan belajar yang punya hubungan dengan ilmu pertanahan (yang banyaknya naudzubilah amit-amit jabang bayi lanang wedok ketok kayu berkali-kali), akhirnya hari H ujian pun tiba.
Jeng jeng jeng… *musik dramatis lagi*
Ujiannya terbagi jadi 2 hari. Ujian hari pertama sih bahannya lumayan gak terlalu menyiksa jiwa raga, karena yang diuji hanya teori-teori tentang hukum pertanahan, pendaftaran tanah, kantor pertanahan, dan teori-teori lainnya.
Yang bikin bete adalah fakta bahwa gue ujian di ruangan yang biasa dipakai jadi kantin di Sekolah Tinggi Pertanahan (sekolah itu memang biasa dipakai jadi tempat ujian PPAT). Ruangannya sih besar, tapi untuk memaksimalkan kapasitas ruangan itu, semua meja makan disingkirkan dan yang tersedia hanya kursi yang diatur berderet-deret. Ada kali tuh seribu orang duduk berjejer-jejer di situ. Cuman saja, ya begitu, TIDAK ADA MEJA! Hiks! Terpaksalah gue ujian berjam-jam dibantu dengan papan bantu menulis. Pegel saudara-saudara, harus ujian sambil megangin papan begitu. Tangan kiri megangin papan, sementara tangan kanan gak berhenti menulis.
Sebenernya tempat ujiannya tidak hanya di tempat kantin itu saja sih. Gedung-gedung lain di Sekolah Tinggi Pertanahan itu yang biasa dipakai untuk perkuliahan semuanya dipakai untuk ujian, tapi karena yang ikut ujian banyak banget akhirnya ya terpaksa kantin juga dipakai untuk ujian. Kalau gak salah inget sih yang ikut ujian PPAT tahun 2013 ini ada 2750 orang. Hweh…
Pas ujian hari pertama selesai, badan udah pegel semua karena kan duduk berjam-jam, nunduk menulis sambil memegangi papan. Tapi kita belum bisa istirahat karena besoknya masih ada ujian lagi.
Ujian hari kedua lebih parah lagi, karena salah satu bahan ujiannya adalah ujian praktek pembuatan akta.
Hadeuh… Neraka jahanam bener dah tuh…
Kenapa gue bilang neraka jahanam? Karena begini:
Buat orang yang tidak/belum mengerti tentang akta PPAT, perlu diketahui adalah sampai dengan tahun ini para PPAT membuat akta dengan cara menggunakan blanko.
Apakah blanko itu? Blanko itu adalah akta kosongan yang mirip seperti formulir, jadi PPAT yang ingin membuat akta hanya tinggal mengisi bagian-bagian blanko yang masih kosong dan sudah disediakan itu.
Nah, ternyata tahun ini Badan Pertanahan membuat kebijakan baru bahwa PPAT tidak lagi membuat akta dengan menggunakan blanko, dan sebagai gantinya para PPAT membuat akta dengan mengetik sendiri aktanya dari awal sampai akhir (sama seperti akta notaris).
Yang bikin gue kelimpungan adalah, contoh-contoh soal ujian pembuatan akta dari tahun-tahun sebelumnya selalu menggunakan blanko, jadi biasanya yang dibuat rumit dalam soalnya adalah tentang para kliennya, jadi orang-orang yang diuji bakal dibuat mumet tentang bagaimana menuliskan identitas para klien dengan jelas, tapi karena menggunakan blanko, mereka tidak perlu mumet soal isi (pasal-pasal) aktanya.
Ternyata tahun ini ujiannya menggunakan style yang berbeda, yaitu ujian pembuatan akta tidak lagi menggunakan blanko.
Pas gue menerima soal ujiannya, dan gue menyadari bahwa di soal-soal ujian itu tidak disediakan blanko, gue langsung panik berat.
Gimana gak panik kalau selama ini gue hanya mempelajari tentang bagaimana mengisi blanko akta, sementara ternyata ujiannya menyuruh gue membuat akta itu dari awal sampai akhir termasuk pasal-pasalnya.
Bener aja, yang kaget gak cuman gue. Semua peserta ujian pada cuman bisa terkesima karena mereka juga baru sadar kalau mereka harus menulis ulang akta-akta PPAT yang biasanya sudah saklek pakemnnya karena sudah berupa blanko.
Tapi mau bagaimana lagi? Kita sudah duduk di ruang ujian, jadi ya kita gak punya pilihan lain selain terjun bebas dan mencoba membuat akta-akta yang diminta sebaik mungkin mengandalkan memori kita yang terbatas ini. Hiks…
Begitu ujian hari kedua itu selesai, badan rasanya udah gak karuan. Pegel, capek, kaku, pusing, laper, bete, semua diublek jadi satu.
Di hari kedua itu gue dan Ochie pisah jalan. Dia sudah janjian sama temen-temen dia yang lain yang kebetulan ada di Jogja buat jalan-jalan. Dia nawarin gue buat gabung sih, tapi gue nolak karena gue beneran udah capek banget rasanya. Jadilah gue melewati malam terakhir gue di Jogja dalam rangka ujian PPAT itu dalam kesendirian yang syahdu (pret… dung… chuih…) whakhakha…
Yang bikin gue bete adalah, di malam terakhir itu saking capeknya, kaki gue akhirnya kram dengan suksesnya. Hiks… Karena cuman tinggal sendirian di kamar hotel ya gue cuman bisa meringis sambil melafalkan segala sumpah serapah yang gue tahu.
Well, itu adalah cerita ringkasan petualangan gue ikut ujian PPAT di Jogjakarta. Orang lain mah ke Jogja buat wisata, gue ke sana kok kayanya malah buat menjalani penyiksaan. Hieh!
Tapi nggak apa-apa. Kalau nggak seperti itu kan malah nggak ada kenangannya. Hehehe…
Sukur alhamdulilah, bulan Juli kemarin hasil ujiannya sudah keluar dan gue ternyata lulus buat jadi PPAT dengan wilayah kerja Kabupaten Gresik, sesuai dengan wilayah kedudukan gue sebagai Notaris.
Sujud sukur dah gue. Bener-bener speechless, karena gue menjalani tuh ujian dengan segala kekurangan gue sebagai Burung Hantu Oversize begini, tapi ya ternyata bisa lulus juga. Kayanya kalau gue nggak lulus bisa nangis bombay dah gue, secara bener-bener tersiksa kalau harus menjalani ujian yang bikin capek seperti itu.
Gue bener-bener bersukur, karena ujian PPAT terkenal bukan ujian yang sifatnya formalitas doang. Dengan kata lain, di ujian PPAT ini kalau nilainya kurang ya gak bakal lulus. Tahun ini saja yang tidak lulus cukup banyak (soal berapa yang gak lulus, gue gak ngomong dah, pokoknya banyak).
Oh well, sekarang tinggal mikirin rencana kapan ke Jakarta buat menyetor berkas-berkas permohonan pengangkatan sebagai PPAT. Hehehe…
Oh, satu hal yang gue lupa cerita. Buat ujian PPAT itu, semua peserta diwajibkan pakai kemeja putih dan celana/rok hitam. Sebenernya nggak apa-apa sih, cuman saja mau ujian jadi PPAT kok rasanya malah seperti jadi Sales Promotion Girl/Boy yang masih dalam masa percobaan gara-gara pakai baju hitam-putih begitu. Hahaha…
So, begitulah cerita gue tentang ujian PPAT yang gue ikuti kemarin itu. Semoga yang baca bisa dapet bayangan tentang apa saja yang harus dihadapi kalau ingin menjalani ujian PPAT.